Sabtu, 28 Maret 2015

LELAKI MENANGIS!



Beginilah cara laki-laki menangis terlihat diam dan tenang, sesekali air mata-nya menetes dari tepi mata-nya. 
pandangan-nya kosong, namun seperti ingin mengatakan sesuatu. alangkah hebatnya dalam diamnya ia berkaca-kaca berdiskusi dengan Tuhan.
 
walau hanya beberapa menit, bahkan beberapa detik .diam dalam kesendirian-nya, seolah-olah tangis itu milik dia seorang dan dunia dalam kendali percakapan diamnya. tak ada yang lain, setelah puas dalam waktunya, dia kan kembali lagi melanjutkan aktivitas seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi hal apapun. 
Seorang perempuan akan berpikir dengan perasaan, namun sang lelaki akan berpikir dengan logika-nya. Hal ini yang membedakan mengapa perempuan lebih sensitif dibandingkan dengan laki-laki.  
Ketika menangis berasal dari perasaan dan rintihan hati.  
sahabat, ketika laki-laki menangis, bukan berarti ucapan cengeng atau kurang jantan yang harus diucapkan padanya. akan tetapi lihatlah, betapa sangat beratnya dia menahan deritanya. Rasanya mengeluarkan air matanya yang sangat berharga adalah kekuatan superpower dalam dirinya. Dia tidak perlu orang lain terlalu mendekatinya, dia juga tidak perlu orang lain menghibur-nya, namun yang dia perlukan hanyalah beberapa menit dan detik untuk ketenangan batinnya bercakap dengan Tuhan .

* menangis adalah reaksi tubuh untuk menurunkan kadar  stressor dalam tubuh.

Kamis, 26 Maret 2015

JAS KEREN

Wangi Apa Almamatermu?

Seorang mahasiswa menepuk-nepuk bagian bahu almamaternya. Sesekali ia tiup. Membuat butir-butir debu beterbangan. Bagian lengan terlihat kusam, masih tersisa bekas keringat yang bercampur debu saat berdemo kemarin siang. Lantas ia mencium jaket kebanggaannya itu. “Inilah wangi perjuangan”, bisiknya dalam hati.

Di sudut yang lain, seorang mahasiswa sedang menyeterika kemeja putih, celana hitam, dan tidak lupa jaket almamaternya. Bahkan, biasanya sangat jarang ia semproti baju yang diseterika dengan pewangi dan pelembut, tapi hari itu ia pakai. Mahasiswa itu membuka agendanya. Di lembar ke dua belas ia tuliskan bahwa besok ia harus mengikuti konferensi tingkat nasional. Ah, pasti karena itu ia siapkan pakaian rapi lengkap dengan almamater kebanggaannya. Sebelum diletakkan dalam sudut lemari, diciuminya almamater itu. “Wanginya sudah siap untuk konferensi esok,” batinnya bergumam.

Lain lagi dengan yang satu ini, seorang mahasiswa sedang membersihkan kotoran akibat goresan pensil warna di almamaternya. Sambil tersenyum, ia mengambil sehelai tissue basah lalu menggosok-gosokkan di permukaan kotor tersebut. Meski tidak hilang sempurna, tapi ia sama sekali tidak menyesali ulah anak-anak lucu yang telah mencoret jaket kebanggaannya itu. Ia masih tetap bermain sembari sesekali menyeka keringat. Tentu ada saatnya nanti, di sela-sela bermain, mahasiswa itu akan berkata, “Adik-adik, sekarang kita belajar ya, supaya kalian jadi anak pintar dan suatu saat dapat memperbaiki bangsa ini.”

Sekarang giliranku, mungkin juga giliranmu. Coba ciumi almamater dari kampus kebanggaan kita, aroma apa yang menyeruak? Akankah ia beraroma debu dan tetes keringat akibat seringnya engkau turun ke jalan? Mungkin juga wangi yang kau cium adalah wangi peserta konferensi atau pertemuan-pertemuan intelektual lainnya? Atau ia beraroma anak-anak yang senantiasa kau dampingi tumbuh kembangnya dalam pembelajaran dan mimpi-mimpi? Aku yakin, semua itu adalah wangi perjuangan.

Jika ada yang berkata, “Mahasiswa itu harus turun ke jalan jika merasa masih peduli dengan bangsa ini!”. Hei, apakah kawan-kawan kita yang menguras pikiran demi sebuah penemuan itu bukan bagian dari perjuangan? Apakah teman-teman kita yang sering ke luar negeri untuk konferensi atau lomba-lomba itu kita pandang sebagai ambisi pribadi? Atau kita menganggap remeh perjuangan sebagian teman-teman yang lain ketika mereka berbagi senyum dan semangat dengan anak-anak pinggiran? Semua kita sedang berjuang, kawan. Apapun medannya.

Pemerintah harus berterima kasih kepada mereka (mahasiswa) yang bersedia mengawal dan menasihati tanpa meminta bayaran. Demikian juga para orang tua, selayaknya menaruh harapan bahwa ada jutaan anak muda yang masih peduli dan mempersiapkan diri guna menjemput Indonesia di masa depan. Mereka sekarang sedang berserakan, di trotoar jalan, di depan komputer, di sela-sela rak perpustakaan, atau mungkin di depan papan tulis, dan ada juga di podium-podium kehormatan.

Hanya satu yang ingin kutanyakan, kawan, wangi apa almamatermu? Jangan sampai ia beraroma lemari usang yang hanya kaukeluarkan saat menjelang kelulusan. Aromai ia dengan perjuangan, apa pun itu.

--Wandra, UI 2012.